Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyat Temenggung tidak pernah melaporkan misrepsentasi aset yang dilakukan oleh pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim.
Hal itu disampaikan mantan Menteri Keuangan Boediono saat memberikan kesaksian dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (19/07). Boediono bersaksi untuk Ketua BPPN 2002 - 2004 Syafruddin Arsyat Temenggung yang menjadi terdakwa kasus pemberian Surat keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bagi pemilik BDNI Sjamsul Nursalim.
“Yang dibahas dalam rapat KKSK beban petambak Rp135 juta menjadi Rp100 juta per petambak, kalau gambaran besarnya itu. Akan tetapi, soal misrepresentasi tidak dibahas, sepanjang rapat yang saya hadiri, saya tidak ingat ada pembicaraan mengenai masalah misrepresentasi," terang Boediono.
Atas keterangan tersebut, jaksa kembali mengkonfrmasi ulang kepada Boediono. “Izin mengonfirmasi BAP 14. Apakah ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung melaporkan kepada KKSK mengenai temuan misrepresentasi tentang PT DCD dan PT WM, saudara menjawab bahwa Syafruddin tidak melaporkan kepada KKSK tentang misrepresentasi PT DCD dan PT WM sebesar Rp4,8 triliun atas pelaksanaan FGD dari Ernest and Young. Apakah ini benar?" tanya jaksa
.”Benar," jawab Boediono.
Jaksa kembali bertanya. "Dalam rapat KKSK 13 Februari 2004, apakah terdakwa Syafruddin sebagai ketua BPPN melaporkan terkait dengan penyelesaian misrepresentasi utang petambak yang macet kepada KKSK?”
“Soal misrepresentasi tidak. Akan tetapi, petambak memang dilaporkan kesulitan makanya tambak macet, pengurangan beban (utang) itu menurut kami memang baik tapi dalam konteks aturan yang ada. Saya tidak ingat ada pembicaraan khusus soal kredit macet tapi info yang beredar ada petambak yang tidak bisa bayar atau kesulitan, fokus saja," jelas Boediono.
Boediono menjelaskan, anggota KKSK yang terdiri atas sejumlah menteri yang diketuai oleh Menko Ekuin menerima saja data yang diberikan oleh BPPN.
“Anggota KKSK, terutama saya, mengandalkan sistem. Sistem itu memberikan masukan info dan KKSK yang kemudian melihat apakah prosedurnya itu baik. Kalau memang detailnya, saya tidak tahu. Akan tetapi, kalau mereka katakan sudah dipenuhi, ya, kami terima. Kalau tidak salah dalam surat keputusan KKSK itu mewajibkan BPPN mengecek kembali semua persyaratan dipenuhi baru dikeluarkan SKL (surat keterangan lunas)," jelas Boediono.
Syafruddin selaku mantan Ketua BPPN didakwa merugikan negara Rp 4,5 triliun terkait penerbitan SKL dari BPPN terhadap BDNI, yang dimiliki pengusaha Sjamsul.
Syafruddin menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira serta surat pemenuhan kewajiban pemegang saham meski Sjamsul belum menyelesaikan kewajibannya yang seolah-olah piutang lancar sehingga terjadi misrepresentasi.
© Copyright 2024, All Rights Reserved