Vonis denda Rp30 juta kepada tujuh kapal asing karena terbukti melanggar UU Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Pengadilan Negeri Tanjung Pinang di Tanjung Balai Karimun pada 9 oktober lalu, berkembang menjadi polemik. Padahal, Pengadilan Negeri Tanjung Piang sudah mengeluarkan {anmaning} pada 21 Oktober lalu. Di satu pihak ada yang merasa vonis itu tak maksimal, sementara disisi lain menyebut vonis itu sudah betul. Yang memprihatinkan kelompok yang kurang puas malah bukan menyampaikan rasa ketidaksenangannya itu melalui upaya hukum yang benar, seperti banding, tetapi malah ‘bernyanyi’ di media massa.
“Bagi pihak yang tidak puas, tempuhlah jalur hukum. Dan bagi masyarakat, perlu saya tegaskan, apapun bentuk komentarnya, tak bisa merubah putusan yang ada,” ungkap Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Prof Dr Bagir Manan, SH dalam wawancara khusus dengan Politkindonesia.com. Petikannya:
{Vonis terhadap kasus Kapal Keruk (Pasir Laut) sudah dijatuhkan Penga-dilan Negeri Tanjung Pinang. Namun, vonis itulah yang kini menjadi pole-mik tak ada habisnya. Semua berko-mentar termasuk pemerintah menge-nai jatuhnya vonis tersebut. Padahal, jika tak puas dengan sebuah putusan pengadilan, ada upaya hukum lainnya yang bisa ditempuh seperti banding atau kasasi. Bukannya ‘koar-koar’ di media massa. Bagaimana Anda melihat hal itu?}
Sebenarnya, kita ini tak bisa melarang orang untuk berkomentar tentang sesuatu hal. Dan, saya mengakui, bahwa setiap putusan sebuah perkara itu ada yang puas dan tidak puas. Tapi, yang perlu dijaga adalah jangan sampai komentar itu menggambarkan seolah-olah putusan pengadilan itu dibuat dengan cara yang tidak benar. Sebab, putusan pengadilan itu produk hukum yang musti dihormati, terlepas dari kita setuju atau tidak setuju terhadap isi putusan tersebut.
{Lalu apa saran Anda bagi para pihak yang kini berpolemik dengan vonis tersebut?}
Saya sarankan, bagi pihak yang berperkara dan tidak puas, tempuhlah upaya hukum. Dan bagi masyarakat, perlu saya tegaskan, apa pun bentuk komentarnya, takkan bisa merubah putusan yang ada. Dan saya melihat, seharusnya komentar-komentar itu terjadi hanya untuk kalangan-kalangan tertentu saja, untuk mengulas soal tulisan-tulisan ilmiah, misalnya. Di pihak lain, hakim tidak dibenar-kan secara etika untuk menjelaskan mengenai putusannya itu. Silakan saja orang yang bersangkutan menilai. Tetapi untuk hakim, tidak dibenarkan secara etika untuk coba-coba menjelas-kan mengapa diputuskan seperti itu dan seterusnya. Karena, putusannya itu sudah menjadi sebuah hukum. Peru-bahan putusan hakim sebagai hukum, ya kita tunggu saja bila ada perkara baru yang serupa, barangkali majelis hukum yang lain akan memutuskan lain atau berbeda.
{Artinya, meski dengan komentar dan argumen yang demikian kuat mengenai sebuah putusan hakim, tak akan mampu merubah atau menga-nulir vonis hakim tersebut?}
Ya itu dia. Manfaatnya sudah tidak ada lagi. Kecuali, kita bisa membukti-kan kalau putusan hakim itu terjadi dan tercipta dengan cara-cara yang tidak benar. Misalnya, hakim menerima suap. Jika itu dapat ditunjukkan dan terbukti secara hukum memang hal semacam itu betul-betul terjadi, itu bisa dijadikan dasar kita untuk menindak hakim. Meski begitu, putusan tadi tetap sebagai sebuah putusan hukum yang tak bisa diganggu-gugat, kecuali me-lalui upaya hukum lain, bisa grasi atau kasasi.
{Anda melihat fenomena ini sebagai sebuah intervensi pihak-pihak ter-tentu terhadap lembaga yudikatif, dalam hal ini lembaga peradilan?}
Memang, intervensi itu ada dua. Yaitu, intervensi dari kekuasaan publik (negara atau pemerintah) dan masya-rakat. Tapi, karena ini sudah diputus, intervensi itu menjadi tidak mengan-dung arti apa-apa. Yang kita anggap intervensi itu adalah apabila ada usaha mempengaruhi akan terjadi sebuah putusan. Kalau sudah putusan, saya pikir, tak ada lagi itu yang namanya intervensi. Kecuali dalam pengertian bahwa kita bisa merendahkan martabat hakim.
{Dengan kondisi seperti itu, apakah Anda selaku Ketua Mahkamah Agung sudah melakukan suatu langkah semacam klarifikasi terhadap putusan majelis hakim di Pengadilan Negeri Pangkal Pinang yang berujung polemik itu?}
Oh, khusus mengenai kasus kapal keruk ini, tidak ada klarifikasi apa-apa dari saya selaku Ketua Mahkamah Agung. Karena, Ketua Mahkamah Agung itu juga mempunyai kewajiban menghormati kebebasan hakim dalam mengambil putusan sebuah perkara. Independensi hakim harus kita hor-mati. Jadi, kita tidak bisa mencampuri apa-apa yang sudah mereka (hakim) putuskan. Tapi, kalau boleh menyampaikan satu catatan, putusan hakim itu dalam perkara pidana, itu sangat tergantung unsur dakwaan. Kalau dakwaannya A, tentu akan diputus A sesuai dengan dakwaan itu. Memang, dakwaan tadi bisa diterima atau ditolak. Tapi, putus-annya harus sesuai dengan dakwaan yang ada. Hakim tidak bisa menyim-pang dari dakwaan atau menyimpang dari tuntutan jaksa. Jadi, jika jaksa mendakwa A, hakim harus memutus-kan berdasarkan dakwaan dan tuntut-an kejaksaan.
{Tapi, putusan kasus kapal keruk ini kan melahirkan suara-suara sumbang di luar terhadap lembaga peradilan yang tentunya juga akan mengganggu pikiran Anda sebagai Ketua Mah-kamah Agung, ada apa sebenarnya?}
Maka dari itu, kalau ada prasangka seperti itu misalnya mengapa vonisnya terlalu ringan, ya mari kita sama-sama lihat dakwaannya seperti apa. Apakah dakwaannya itu ringan atau tidak. Jika dakwaannya ringan, ya hakim tentu-nya tidak memutuskan lain karena memang dakwaannya hanya itu saja. Sementara itu, jika hakimnya di-sangka atau diduga melakukan reka-yasa sebuah putusan, kita lihat apakah hakim sudah memutus itu sesuai Undang-Undang (UU) atau tidak. Misalnya, kalau UU itu sendiri menga-takan satu putusan atau hukuman denda itu besarnya X, dan hakim sudah memutuskannya sesuai dengan X, ya hakim tidak bisa berbuat apa-apa. Karena hakim tidak bisa menambah hukuman denda melebihi ketentuan UU. Barangkali juga ini menyangkut ketentuan UU yang mungkin menentu-kan denda terlalu rendah.
{Jika begitu, dalam pengadilan banding nanti, karena ini sudah menjadi semacam polemik, apakah bisa Mahkamah Agung memutuskan untuk memindahkan tempat penga-dilan di luar wilayah hukum terjadi-nya perkara tersebut, misalnya di-pindahkan ke Jakarta?}
Untuk memindahkan tempat sidang bukan wewenang Mahkamah Agung. Sampai hari ini mengenai hal itu masih merupakan wewenang Departemen Kehakiman. Memang, dalam memin-dahkan tempat peradilan, itu terjadi setelah Departemen Kehakiman me-minta pertimbangan kepada Mahka-mah Agung.
{Secara hukum apakah bisa hal semacam itu terjadi, memindahkan tempat pengadilan ke luar wilayah terjadinya perkara?}
Oh, tentu saja bisa. Dengan dasar bahwa di tempat itu dikhawatirkan tidak akan diperoleh peradilan yang baik. Atau, bisa juga, apabila tempat itu dikhawatirkan mengenai masalah keamanan, dan sebagainya. Itu jelas dibolehkan secara hukum.
{Peradilan yang tidak baik itu, kongkritnya seperti apa?}
Misalnya, di sana, peradilannya akan didemo orang, hakimnya diancam, dan sebagainya. Dengan kondisi seperti itu, tentu saja peradilan tidak bisa dilaksa-nakan di sana.
{Bagaimana jika hakimnya diduga melakukan kolusi? Apakah itu juga bisa dijadikan dasar pemindahan tempat tadi?}
Itu tidak bisa, harus dibuktikan dulu. Anda tidak bisa menuduh hakim seperti itu sebelum hal itu diputuskan pengadilan. Di sana kan ada berpuluh-puluh hakim.
{Bisa jadi, polemik tadi memang tercipta karena memang filosofi dari rasa keadilan itu sendiri sifatnya nisbi atau tidak mutlak. Artinya, sebuah putusan lembaga peradilan belum tentu bisa memuaskan seluruh rasa keadilan di masyarakat…}
Ya karena rasa keadilan itu sebenar-nya sesuatu hal yang di dalamnya mengandung kontradiksi. Misalnya, antara rasa keadilan individu dengan rasa keadilan masyarakat. Seorang pencuri kalau dijatuhi hukuman, misalnya dia mencuri karena lapar, tentu akan ada atau bahkan dia sendiri yang mengatakan itu tidak adil, mengapa saya dijatuhi hukuman hanya karena saya lapar? Tapi, bagi anggota masyarakat, jika dia tidak dihukum, pasti akan mengatakan bahwa itu tidak adil. Pencuri kok tidak dihukum, padahal kita membutuhkan rasa aman. Jadi, kita di sini tidak bisa melihat itu semua berdasarkan kepentingan pribadi atau kepentingan tertentu. Karena, antara kepentingan yang satu dengan yang lain, akan berbeda. Bagi kita adil, belum tentu bagi yang lain sudah menjawab rasa keadilannya. Oleh karena itu, kita tidak perlu berkonfrontasi untuk mencari sesuatu itu adil atau tidak. Yang penting adalah apakah putusan itu sudah sesuai dengan hukum atau UU yang ada atau tidak. Dan juga apakah putusan itu dapat diharapkan untuk memberikan tujuan hukum atau tidak. Jika seorang pencuri dijatuhi hukuman maksimal lima tahun, bisa diputuskan sehari, lima hari, atau bebas sama sekali. Memang maunya UU seperti itu. Asal hakimnya dalam melakukan hal itu memenuhi syarat. Hakimnya tidak berpihak, independen, dan sebagainya. Jika syarat-syarat seperti itu dilaksanakan hakim dengan baik, meskipun dia jatuhkan hukuman sehari, harus kita anggap sebagai sebuah keadilan. Jangan lupa bahwa hakim itu men-jatuhkan hukuman bukan karena keinginannya. Tapi, karena memang faktanya seperti itu. Jadi, jika Anda ingin orang dihukum, buatlah faktanya itu bagus.
{Anda melihat bahwa polemik ini dapat merusak citra hukum bangsa ini?}
Anda musti ingat, hukum itu tidak sama dengan pengadilan. Karena hukum itu dapat Anda lihat dalam pengadilan, hukum perundang-undangan, imigrasi, bea cukai, pelayan-an masyarakat oleh pemerintah, kepolisian, dan sebagainya. Jadi, yang namanya hukum itu menjelma dimana-mana. alau kita menganggap bahwa hu-kum itu citranya kurang baik, jangan hanya melihat pengadilan saja. Me-mang, pengadilan merupakan salah satu wajah dari citra hukum itu sendiri. Bagi saya, kurang fair bila melihat hukum itu hanya di pengadilan saja. Kita harus melihat juga semuanya. Baru kita bisa menyelesaikan masalah supre-masi hukum ini. Dan yang jauh lebih penting, kita semua harus bekerja ke arah tegaknya supremasi hukum. (*)
© Copyright 2024, All Rights Reserved