Mantan Panglima Kodam IX/Udayana Mayjen (Purn) Adam Damiri mengatakan UNAMET adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas kerusuhan yang terjadi di Timor-Timur (kini Timor Leste) pada tahun 1999. Kerusuhan itu terjadi pasca referendum yang berujung pada lepasnya Timtim dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1999.
"Dari data, fakta dan bukti serta pengakuan sejumlah saksi tentang kecurangan-kecurangan jajak pendapat yang dilakukan penyelenggara, berarti mereka yang bertangungjawab," kata Adam, usai memberikan paparan pada dengar pendapat II Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) RI-Timor Leste, di Jakarta, Jumat.
Dikatakannya bentrokan yang diwarnai tindak kekerasan itu dipicu karena kekecewaan yang dialami masyarakat pro integrasi terhadap kecurangan-kecurangan tersebut. "Kita harus berani ungkap segala bentuk kecurangan yang terjadi saat jajak pendapat yang dilakukan UNAMET, yang selama ini tidak pernah tersentuh, padahal bukti-bukti lengkap dan banyak," kata Adam.
Ia mencontohkan salah satu bentuk kecurangan yang dilakukan UNAMET adalah lembaga bentukan PBB itu merekrut sekitar 3.000 staf lokal sebagai panitia penyelenggara jajak pendapat. "Ke-3.000 staf lokal itu berasal dari kelompok pro kemerdekaan. Sedangkan masyarakat pro integrasi ditolak menjadi anggota panitia jajak pendapat," ungkapnya.
Tidak itu saja, tambah Adam, UNAMET dan kelompok pro kemerdekaan kerap melakukan intismidasi terhadap rakyat saat memasuki bilik suara, dan ketika mereka melintas di kawasan kelompok pro integrasi, mereka memaksa rakyat untuk menurunkan bendera merah putih. "Padahal, ini kan negara kita, Indonesia. Bukan negara PBB," katanya menegaskan.
Selain menegaskan masih banyak lagi kecurangan yang dilakukan UNAMET, Adam juga menyatakan TNI tidak pernah memberikan senjata pada kelompok manapun, termasuk apa yang disebut dengan milisi.
"Kalau Keamanan Rakyat (Kamra) ingin melakukan patroli keliling, maka mereka statusnya pinjam dan harus dikembalikan. Itu pun dicatat. Jadi tidak sembarangan," ungkapnya.
Situasi Timtim, lanjut Adam, saat itu tidak memungkinkan untuk membawa senjata sembarangan, apalagi memberikan pada orang lain, karena dapat memicu aksi kerusuhan dan tindak kekerasan yang lebih parah. ”Bahkan untuk antisipasi, gudang senjata pun dikosongkan, dipindahkan ke pelabuhan atau dikirim ke Jawa,” katanya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved